Kritik tersebut muncul beberapa kali dalam laporan jurnalistik yang diterbitkan sejumlah berkala 1974-1978. Maklum, dalam kurun tersebut, setiap kali musim hujan tiba Jakarta selalu kebanjiran, yang terbesar pada 1976.
Kritik paling kencang yang muncul ketika itu adalah mulai maraknya pembangunan vila-vila di kawasan hulu sungai Ciliwung, sungai utama yang membelah jakarta. untuk kepentingan pariwisata saat itu, pembangunan vila tersebut berlangsung nyaris tanpa kendali.
Pada saat yang sama, saluran kolektor di sisi timur jakarta itu juga tak kunjung dibangun. usaha pembebasan lahan sebetulnya sempat dilakukan. namun, karena tidak didukung plitical will dan dana yang kuat, upaya itu pun berhenti, sampai 30 tahun kemudian.
Baru pada 10 juli 2003, setahun setelah banjir besar 2002, proyek pembangunan saluran sepanjang 23,5km dengan lebar 100 m - 300 m tersebut kembali dicanangkan dan ditargetkan rampung 2010. Saat itu, biayanya diproyeksi mencapai Rp. 4,1 triliun.
Dalam pelaksanaannya, lagi-lagi proyek tersebut terbentur kendala. Terutama oleh perkara pembebasan tanah yang sebagian besar dimiliki warga dan swasta. Tidak jarang, di beberapa tempat terjadi tumpang tindik klaim kepemilikan lahan.
Kritik terbaru untuk penangan banjir kini datang dari National Open Network Conference II yang berlangsung di Hotel Gran Kemang, Jakarta, awal pekan ini. Konferensi sehari yang digelar oleh CKNet-Ina ini mengambil topik tunggal manajemen banjir.
Hadir dalam konferensi itu para specialis penangan banjir dari sejumlah lembaga a.l. World Meteorological Org, UN Educational, Scientific & Cultural Org, World Bank, Netherlands Education Support Office, US Agency for Int'l Development, dan Asian Development Bank.
Dalam konferensi itu terungkap bagaimana pendekatan penanganan banjir yang selama ini diupayakan pemerintah pusat dan Pemprov DKI ternyata menyimpan paling sedikit tiga mitos yang sedemikian rupa mempuat upaya penanganan banjir menjadi tidak maksimal.
Mitos pertama, Banjir Kanal Timur adalah proyek yang akan menjawab ancaman banjir di Jakarta. Perlu diketahui bahwa asumsi-asumsi yang dipakai dalam proyek ini adalah asumsi yang dirumuskan pada 1920-an yang kini sudah tidak relevan.
Konsep Banjir Kanal Timur datang dari konsep penanggulangan banjir buatan Van Breen, tak lama setelah Batavia dilanda banjir besar pada 1918. saat itu, Breen memperkenalkan konsep pengendalian aliran air dari hulu sungai dan mengatur volume air yang masuk ke kota.
Breen merancang dua saluran kolektor yang mengepung kota guna menampung limpahan air untuk selanjutnya dialirkan ke laut. Saluran pertama menyusuri tepian barat kota, yang kedua melalui tepian timur kota.
Dua saluran itu ditujukan membelokkan aliran air, sehingga tidak langsung menerjang pusat kota. Breen membangun saluran yang menyusuri tepian barat dahulu karena saat itulah yang terdekat dengan pusat Kota Batavia.
Saluran barat yang mulai dibangun mulai 1922 itulah yang kini dikenal sebagai Banjir Kanal Barat, membentang dari Manggarai ke Pluit. Sedangkan saluran timur, ketika itu dirancang dengan perkiraan kota akan terus tumbuh ke arah timur, tidak sempat dibangun karena perang dunia kedua.
Berkembang ke selatan
Fakta berkembang terus ke selatan itu pula yang menjelaskan kenapa baik dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI 1985-2000 dan juga 2000-2010, kota didorong ke barat dan ke timur, ditandai dengan pembentukan sentra primer baru.
Kedua, keberadaan Banjir Kanal Timur akan mengurangi banjir hingga 40%, seperti diungkap Gubernur DKI Fauzi Bowo pekan lalu. Sampai hari, ini tak pernah ada paparan pasti tentang perhitungan tersebut. Tidak ada yang tahu dari mana datangnya angka itu.
Definisi akan mengurangi banjir hingga 40% juga asngat kabur. Apakah yang dimaksud itu 40% dari luas daerah yang tergenang, atau 40% dari volume air yang tidak bisa ditampung oleh kapasitas drainase kota. Tentu, ini dua hal yang sangat berbeda.
Benar bahwa BKT yang menampung air dari kali Cipingan, Sunter, Buaran, Cakung, Kramat Jati, dan Blencong - dengan daerah tangkapan seluas 20.700 ha - untuk dibuang ke laut melalui Marunda, akan mengurangi ancaman banjir di 13 kawasan di Jakarta bagian timur.
Akan tetapi, ancaman banjir yang tidak disertai dengan perhitungan curah hujan rencana data pijakan mengenai kemungkinan frekuensi dan persentase banjir dalam kurun waktu tertentu yang akuntabel, klaim-klaim pengurangan banjir itu dengan sendirinya menjadi bias.
Pada zaman Belanda misalnya, curah hujan rencana dihitung 20 tahun. "Sekarang kita tidak tahu berapa persisinya curah hujan rencana di DKI. Ada yang bilang5 tahun, 10 tahun, tidak jelas," kata Jan T.L. Yap, konsultan banjir dari CKNet-Ina untuk Bank Dunia-Indonesia.
Padahal, penentuan curah hujan rencana tersebut sangat menentukan jenis keputusan yang akan diambil dalam penanganan banjir, yang meliputi sisi ekonomi, engineering, sosial, dan juga lingkungan.
Dari ketiadaan penentuan curah hujan rencana ini pula, akhirnya, muncul mitos ketiga, yaitu banjir Kanal Timur adalah solusi paling murah yang bisa diupayakan guna mengurangi risiko kerugian banjir di Jakarta.
Para pendukung argumentasi murah di sini biasa membandingkan ongkos yang dikeluarkan untuk membangun Banjir Kanal Timur dengan rencana 42 polder yang butuh total dana Rp 39 triliun.
Murah di sini menjadi mitos, karena seharusnya konsep murah itu dibandingkan dengan ukuran APBD, tetapi dengan nilai kerugian yang dapat dimitigasinya. Dalam hal ini, areal mitigasi itu adalah Sunter, Cipinang, Buaran, Cakung, dan Kelapa Gading.
Faktanya, apabila dibandingkan dengan kawasan lain yang justru tidak dilindungi, seperti di Jakarta bagian selatan seperti di Kemang atau Senayan, kawasan yang jadi target mitigasi banjir Kanal Timur bukanlah kawasan yang bernilai tinggi.
Perlu segera ditambahkan, pembuatan jutaan lubang biopori di kawasan selatan Jakarta sudah pasti juga tidak akan bisa maksimal menggantikan peran kanal. Sebab lubang biopori itu sejatinya hanya akan bekerja optimal di wilayah hulu, di Bogor, bukan di hilir.
Dengan tiga mitos tersebut, seharusnya Pemprov DKI mengkaji kembali rencana proyek banjir kanal tersebut. Perlu ada modifikasi dengan situasi terkini, tentu dengan hitungan nilai risiko yang lebih akuntabel.
diambil Bastanul Siregar (Bisnis Indonesia) 25 februari 2009